Mengatakan "ini Hewan saya untuk Kurban" Apakah Termasuk Kurban Nazar?

                


              Firman Allah tentang Nazar :

 ﴿ثُمَّ لۡیَقۡضُوا۟ تَفَثَهُمۡ وَلۡیُوفُوا۟ نُذُورَهُمۡ وَلۡیَطَّوَّفُوا۟ بِٱلۡبَیۡتِ ٱلۡعَتِیقِ﴾ [الحج ٢٩]

﴿ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثهمْ﴾ أيْ يُزِيلُوا أوْساخهمْ وشَعَثهمْ كَطُولِ الظُّفُر ﴿ولْيُوفُوا﴾ بِالتَّخْفِيفِ والتَّشْدِيد ﴿نُذُورهمْ﴾ مِن الهَدايا والضَّحايا ﴿ولْيَطَّوَّفُوا﴾ طَواف الإفاضَة ﴿بِالبَيْتِ العَتِيق﴾ أيْ القَدِيم لِأَنَّهُ أوَّل بَيْت وُضِعَ لِلنّاسِ

(تفسير الجلالين — المحلّي والسيوطي (٨٦٤، ٩١١ هـ))

artinya : Kemudian hendaklah Mereka (Jamaah Haji) membersihkan kotoran seperti (memotong) kuku yang panjang, hendaklah melaksanakan nazarnya (memberikan hadiah dan berkurban) dan hendaklah bertawaf (tawaf ifadhah) di Kakbah. Surat Maryam: 27  

«تفسير الأحلام = منتخب الكلام في تفسير الأحلام» (1/ 98):
«فإنّ عليه قضاء ‌نذر لقول الله تعالى (إنِّي نَذَرْتُ للرَّحْمَنِ صَوْمَاً فَلَنْ أُكَلّمَ الْيَوْمَ إنْسِيّاً. مريم : 27) وربما يلزم الصمت لأنّ أصل الصوم السكوت»

artinya : Sungguh diwajibkan menunaikan nazar karena Firman Allah SWT : (Maryam Berkata) Sungguh aku bernazar puasa karena Allah yang Maha Penyayang, aku tidak akan berbicara pada seorang pun di hari terseebut (surat maryam ayat 27). Terkadang ditetapkan terdiam karena asli makna puasa adalah berdiam diri.

Hadist tentang nazar :

١ - مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ.
الراوي: عائشة أم المؤمنين • البخاري، صحيح البخاري (٦٦٩٦) • [صحيح] • أخرجه البخاري (٦٦٩٦)

artinya : Siapapun bernazar untuk taat kepada Allah maka hendaklah taat pada Allah SWT. Siapapun bernazar untuk bermaksiat pada Allah SWT maka janganlah bermaksiat pada Allah SWT. H.R Imam Bukhary

٣  - لَمّا قَفَلْنا مِن حُنَيْنٍ، سَأَلَ عُمَرُ النبيَّ ﷺ عن نَذْرٍ كانَ نَذَرَهُ في الجاهِلِيَّةِ، اعْتِكافٍ: فأمَرَهُ النبيُّ ﷺ بوَفائِهِ
الراوي: عبدالله بن عمر • البخاري، صحيح البخاري (٤٣٢٠) • [صحيح] • أخرجه مسلم (١٦٥٦) باختلاف يسير

Artinya : Ketika kami pulang dari Kota Hunain, maka Umar Bin Khattab bertanya pada Nabi saw tentang nazar : pernah nazar pada waktu jahiliah itikaf. lalu Nabi Saw memerintahkan Umar bin Khattab untuk menunaikan nazarnya. H.R Imam Muslim

«مسند أبي داود الطيالسي» (2/ 521):
1293 - حَدَّثَنَا يُونُسُ ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ ، قَالَ: حَدَّثَنِي ثَابِتُ بْنُ الضَّحَّاكِ الْأَنْصَارِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لَيْسَ عَلَى الْمُؤْمِنِ ‌نَذْرٌ فِيمَا لَا يَمْلِكُ، وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ كَاذِبًا فَهُوَ كَمَا قَالَ».

artinya : Yunus bercerita pada saya. Abu Daud bercerita kepada saya. Ia berkata Ibnu Hisyam bercerita pada saya dari Yahya ibnu Abi Kastir dari Abi Qilabah. Ia berkata Tsabit ibnu Al Dhahak Al Anshory; Sungguh Nabi saw bersabda tiada nazar bagi mukmin dalam perkara yang bukan miliknya. melaknat orang yang beriman sama seperti membunuhnya. dan siapaun yang membunuh orang yang beriman pasti mendapatkan azab di hari Kiamat, dan siapapu yang bersumpah dengan agama selain Islam untuk berbohong maka ia (dihukumi) seperti apa yang ia ucapkan. H.R Abu Daud   

«مسند أبي داود الطيالسي» (2/ 177):
878 - حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الزُّبَيْرِ الْحَنْظَلِيِّ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لَا ‌نَذْرَ فِي غَضَبٍ، وَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ».

artinya: tidak ada nazar dalam keadaan marah. dan Kifaratnya hanya kifarat Sumpah (puasa tiga hari)

             Perkataan merupakan nama lain dari kalimat. Kalimat dalam gramatika bahasa Indonesia adalah susunan kata per kata yang bermakna.  Istilah kalimat  dalam gramatika bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Kalam. Kalam secara lughat adalah  dalam kitab Sulamu Munawaroq ilmu Mantiq terbagi dua macam : 

1. Kalam Insya merupakan kalimat shorih yang memuat ketetapan hukum seperti aku nazar berkurban.
2. Kalam Khobar merupakan kalimat kuniyah yang belum jelas maksud dan tujuannya apa atau kebenarannya bagaimana. maka perlu dikonfirmasi ulang kepada si pengucap atau ada saksi yang menguatkannya.    

      Pada dasarnya: Nazar Lujaj Hukumnya Makruh dan Nazar Tabarur hukumnya tidak makruh.  Nazar merupakan janji mewajibkan ibadah sunah sesuai tata-caranya. Berjanji atas perilaku sesuatu berdasar ucapan dan perkataan yang dilontarkan. jika kalimatnya jelas nazar  atau mewajibkan, maka nazarnya berlaku. Kurban adalah ibadah takarub (sunah). Nazar adalah mewajibkan ibadah sunah. Hukum fiqh itu fleksibel dan tidak kaku dalam kondisi berbeda punya ketetapan hukum yang berbeda. Pertama; Tetap melihat situasi saat orang itu yang mengucapkan dalam keadaan senggang atau terdesak.   Kedua: tetap melihat kesanggupannya dalam melaksanakan apa yang dinazarkan. jika tidak kesanggupan, maka tidaklah sah nazar. cukup membayar kifarat sumpah. puasa tiga hari berturut-turut. ketiga: tetap melihat kalimat yang terucap. ada penekanan "mewajibkan" atau "melarang" pada sesuatu perbuatan yang disebutkan. jika tidak ada kata "nazar" atau "mewajibkan/ melarang", maka bukanlah nazar. 


          Rukun-rukun Nazar dalam Kitab Fathul Wahhab karya Syaikhul Islam Abu Zakariya Al Anshori halaman 203 jilid 2: 

أركانه صيغة ومنذور وناذر وشرط فيه إسلام واختيار ونفوذ تصرف فيما ينذره وفي الصيغة لفظ يشعر بالتزام كلله علي أو علي كذا وفي المنذور كونه قربة لم تتعين كعتق وعيادة وَقِرَاءَةِ سُورَةٍ مُعَيَّنَةٍ وَطُولِ قِرَاءَةِ صَلَاةٍ وَصَلَاةِ جماعة ولو نذر غيرها لم يصح ولم يلزمه كفارة

Artinya; rukun-rukun Nazar 1) Shighat (perkataan) 2) perbuatan yang dinazari 3) orang yang bernazar. Syarat orang yang bernazar harus islam, penuh kesadaran atas kehendak sendiri dan mampu melaksanakan nazarnya. Syarat Shighat (perkataan nazar) harus lafadz (ucapan) yang memberikan isyarat keharusan seperti "karena Allah wajib atas ku atau atas diriku sesuatu. Syarat manzur (perihal yang dinazari) berupa ibadah yang tidak fardu ain seperti memerdekakan budak, menjenguk orang sakit, membaca Alquran Surat tertentu, memanjangkan bacaan sholat, Sholat jama'ah. Seandainya Nazar Selainnya, maka tidak sah nazarnya. Tidak wajib bayar kifarat.

               Mengenal Nazar dari kitab Nihatul Muhtaj Syarah Minhaj Thalibin halaman 218 jilid 8 : 

‌‌كِتَابُ النَّذْرِ عَقَّبَ الْأَيْمَانَ بِهِ لِأَنَّ أَحَدَ وَاجِبَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ أَوْ التَّخْيِيرُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَا الْتَزَمَ بِهِ وَهُوَ بِالْمُعْجَمَةِ لُغَةً: الْوَعْدُ بِخَيْرٍ أَوْ شَرٍّ، وَشَرْعًا: الْوَعْدُ بِخَيْرٍ بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ عَلَى وَجْهٍ يَأْتِي، فَلَا يَلْزَمُ بِالنِّيَّةِ وَحْدَهَا وَإِنْ تَأَكَّدَ فِي حَقِّهِ أَيْضًا مَا نَوَاهُ وَالْأَصْلُ فِيهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ، وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ فِي اللَّجَاجِ الْآتِي مَكْرُوهٌ، وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ إطْلَاقُ الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ هُنَا قَالَ لِصِحَّةِ النَّهْيِ عَنْهُ وَأَنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ، وَفِي التَّبَرُّرِ عَدَمُ الْكَرَاهَةِ لِأَنَّهُ قُرْبَةٌ سَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْمُعَلَّقُ وَغَيْرُهُ إذْ هُوَ وَسِيلَةٌ لِطَاعَةٍ، وَالْوَسَائِلُ تُعْطَى حُكْمَ الْمَقَاصِدِ، وَأَرْكَانُهُ: نَاذِرٌ، وَمَنْذُورٌ، وَصِيغَةٌ

Artinya : Kitab Nazar setelah Pembahasan Sumpah. benar-benar salah satu dua kewajiban Nazar adalah Membayar Kifarat sumpah atau memilih antara kifarat atau melaksanakan nazarnya. Nazar dalam arti Lughat adalah janji berbuat baik atau buruk. Pengertian secara Syariat adalah janji melakukan kebaikan dengan mewajibkan ibadah yang mendekatkan diri pada Allah atas cara tertentu yang akan dibahas. maka tidak ada kewajiban niat walaupun niat juga mengukuhkan dalam kebenaran nazar. Sumber dalil utama adalah Kitab Suci Al Qur'an dan Sunnah (hadist). Pendapat yang sangat shahih dalam kondisi tertekan hukumnya makruh. atas pendapat ini, dikukuhkan mutlak perkara yang disepakati atau tidak. inilah, berkata karena sah mencegah nazar. dia benar-benar tidak akan melaksanakan kebaikan. Benar-benar akan mengecualikan dengn ini dari kategori orang Bakhil. dan dalam mencari kebaikan tidak makruh karena benar-benar nazar itu ibadah mendekat diri pada Allah. Sama  saja dalam nazarnya ditaklik (disyaratkan : jika mendapatkan) atau tidak karena nazar tabarur itu wasilah pada taat Kepada Allah. Beberapa wasilah ibadah diberlakukan hukum sebagaimana maksud-maksudnya yang diniatkan. dan rukun Nazar ada tiga ; 1) Orang Nazar, 2) Perbuatan atau Sesesuatu yang di-nazar-kan 3) Shighat (perkataan). 

            Kalimat Nazar yang Sah dari kitab Nihatul Muhtaj Syarah Minhaj Thalibin halaman 219 jilid 8 :

وَمَحْجُورِ سَفَهٍ أَوْ فَلَسٍ فِي قُرْبَةٍ مَالِيَّةٍ عَيْنِيَّةٍ وَنَذْرُ الْقِنِّ مَالًا فِي ذِمَّتِهِ كَضَمَانِهِ خِلَافًا لِبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ، وَلَا بُدَّ مِنْ إمْكَانِ فِعْلِهِ الْمَنْذُورَ فَلَا يَصِحُّ نَذْرُهُ صَوْمًا لَا يُطِيقُهُ، وَلَا بَعِيدٍ عَنْ مَكَّةَ حَجًّا هَذِهِ السَّنَةُ، وَسَوَاءٌ فِي الصِّيغَةِ أَكَانَتْ بِلَفْظٍ أَمْ كِتَابَةً مَعَ نِيَّةٍ أَمْ إشَارَةَ أَخْرَسَ تَدُلُّ أَوْ تُشْعِرُ بِالْتِزَامِ كَيْفِيَّةِ الْعُقُودِ، وَيَكْفِي فِي صَرَاحَتِهَا نَذَرْت لَك كَذَا وَإِنْ لَمْ يَقُلْ لِلَّهِ.

 Artinya : orang yang divonis bodoh atau bangkrut dalam ibadah takarub harta yang ditentukan. dan nazar murni harta dalam masa penangguhan  seperti penangguhannya (dalam pengelolaan harta) berbeda pendapat dari sebagian ulam-ulama mutakhirin. Sudah dipastikan dari kemungkinan bisa melaksanakannya si nazir apa yang menjadi nazarnya. maka tidak sah nazar puasa yang tidak mampu dilaksanakan dan tidak sah nazar haji tahun ini karena jarak tempuhnya jauh dari kota Mekah. sama saja dalam perkataan Nazar berupa ucapan, tulisan disertai niat, atau isyarat tata cara akad-akad dengan mewajibkan diri (atas perbuatan tersebut). Cukuplah perkataan "saya nazar untuk mu seperti demikian dalam kategori kalimat yang sharih (jelas) walaupun tidak menyebutkan Lillahi (karena Allah).
 
           Pembagian macam Nazar dari Kitab Nihatul Muhtaj Syarah Minhaj Thalibin halaman 219 jilid 8 :

(هُوَ ضَرْبَانِ نَذْرُ لَجَاجٍ
 بِفَتْحِ اللَّامِ وَهُوَ التَّمَادِي فِي الْخُصُومَةِ، وَيُسَمَّى نَذْرٌ وَيَمِينُ لَجَاجٍ وَغَضَبٍ وَغَلَقٍ بِفَتْحِ الْمُعْجَمَةِ وَاللَّامِ، وَهُوَ أَنْ يَمْنَعَ نَفْسَهُ أَوْ غَيْرَهَا مِنْ شَيْءٍ أَوْ يَحُثَّ عَلَيْهِ أَوْ يُحَقِّقَ خَبَرًا غَضَبًا بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ (كَإِنْ كَلَّمْته) أَوْ إنْ لَمْ أُكَلِّمْهُ أَوْ إنْ لَمْ يَكُنْ الْأَمْرُ كَمَا قُلْته (فَلِلَّهِ عَلَيَّ) أَوْ فَعَلَيَّ (عِتْقٌ أَوْ صَوْمٌ) أَوْ عِتْقٌ وَصَوْمٌ وَحَجٌّ (وَفِيهِ) عِنْدَ وُجُودِ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ (كَفَّارَةُ يَمِينٍ) لِخَبَرِ مُسْلِمٍ «كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ» وَلَا كَفَّارَةَ فِي نَذْرِ التَّبَرُّرِ جَزْمًا فَتَعَيَّنَ حَمْلُهُ عَلَى نَذْرِ اللَّجَاجِ (وَفِي قَوْلٍ مَا الْتَزَمَ) لِخَبَرِ «مَنْ نَذَرَ وَسَمَّى فَعَلَيْهِ مَا سَمَّى» (وَفِي قَوْلٍ أَيُّهُمَا شَاءَ) لِأَنَّهُ يُشْبِهُ النَّذْرَ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ الْتِزَامُ قُرْبَةٍ وَالْيَمِينُ مِنْ حَيْثُ إنَّ مَقْصُودَهُ مَقْصُودُ الْيَمِينِ، وَلَا سَبِيلَ لِلْجَمْعِ بَيْنَهُمَا مِنْ حَيْثُ مُوجِبُهُمَا وَلَا لِتَعْطِيلِهِمَا فَتَعَيَّنَ التَّخْيِيرُ (قُلْت: الثَّالِثُ أَظْهَرُ، وَرَجَّحَهُ الْعِرَاقِيُّونَ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) لِمَا قُلْنَاهُ، أَمَّا إذَا الْتَزَمَ غَيْرَ قُرْبَةٍ كَلَا آكُلُ الْخُبْزَ فَيَلْزَمُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَمِنْهُ مَا يُعْتَادُ عَلَى أَلْسِنَةِ الْعَوَامّ الْعِتْقُ يَلْزَمُنِي

Artinya : Shighat Nazar ada dua macam 1) Nazar Lujaj dalam pertentangan disebut nazar dan sumpah terpaksa, marah, atau mengekang diri atau lainnya dari sesuatu atau membebani diri atau membenarkan berita karena marah dengan mewajibkan ibadah takarub (sunah) seperti kalimatnya: jika aku tidak mengucapkannya atau jika itu tidak benar adanya sebagaimana ucapan mu : Demi Allah wajib atas diriku memerdekakan budak atau puasa atau haji. dalam masalah tersebut, ada pen-taklik-kan kena kifarat sumpah (puasa tiga hari) berdasarkan hadist Imam Muslim " Kifarat Nazar sebagaimana Kifarat Sumpah". dan dipastikan  tidak ada kifarat dalam nazar tabarur. Kifarat dikhususkan untuk nazar lujaj. dan dalam perkataan apapu yang diwajibkan (atas dirinya) berdasarkan hadist : "orang yang bernazar dan menyebutkan maka wajib baginya apa yang disebutkan". dan dalam perkataan mana aja di antara keduanya yang dikehendaki karena menyerupai nazar dari segi mewajibkan takarub, atau sumpah dari segi makna yang dimaksudnya tujuan sumpah. dan tidak boleh mengumpulkan keduanya dan tidak boleh meninggalkan keduannya, maka ia menentukan pilihan (nazar atau sumpah). saya berkata ; pendapat ketiga lebih azhar dan diunggulakn oleh ulama-ulama Iraq. Allahu Alam. atas dasar apa yang kita ucapkan. adakalanya jika orang mewajibkan sesuatu yang bukan ibadah seperti ucapan: Aku tidak akan makan roti maka wajib baginya kifarat sumpah. dan sebagiannya perilaku yang dibiasakan oleh lisannya orang awam : memerdekaan  wajib bagi ku.      


Dalam Kitab Nihayah Al Mathlab halaman 201 jilid 18 :

والضحية المنذورة إذا أداها الناذر بالنية، ففي جواز الأكل منها وجهان: أحدهما - المنع؛ من جهة أنها ملتزمة في الذمة، فشابهت دماءَ الجبرانات. والثاني - أن الأكل منها كالأكل من الضحية المنوية، وهذا هو الأفقه؛ فإنه نذرَ الضحية، والضحية يجوز الأكل منها، فلا تتميز المنذورة عن المتطوع بها، إلا من جهة أن الإقدام على الوفاء بالنذر واجب، ولا يجب ذلك دونها.
ولو قال: ‌جعلت ‌هذه ‌الشاةَ ‌ضحيةً، ولم يتقدم نذر والتزام، فهل يحل الأكل منها؟ إن قلنا: يحل الأكل من المنذورة المطلقة المصروفة بالنية إلى النذر، فلأن يجوز أكل من المعينة من غير التزام أولى، وإن منعنا أكل من المنذورة، ففي الأكل من المعينة وجهان: والأصح - جواز الأكل؛ فإن اللفظ كما عين المعينة، فالذبح على نية التطوع بالتضحية يعيّن اللحم لجهة الضحية الشرعية، فلا فرق إذاً، وإذا فرضنا تعييناً بعد نذر، لم يخف التصرف بعد الترديدات التي ذكرناها في ترتيب المنازل، وقد نجز الغرض في هذا النوع

artinya : Kurban Nazar jika orang bernazar melaksanakan niatnya. Bolehkah memakan sebagian dari daging hewan nazar tersebut? pendapat pertama : menyatakan tidak boleh dilihat dari sisi hewan kurban yang sudah ditetapkan sebagai nazar yang menjadi tanggung jawabnya. Dagingnya hewan sama hukumnya seperti hewan bayar dam (denda) kesalahan ibadah haji (wajib disedekahkan seluruhnya).
pendapat kedua ; Bahwa memakan sebagian daging hewan nazar seperti memakan seluruh hewan yang diniatkan kurban. dan ini lebih bisa dimengerti karena nazar berkurban. hewan kurban boleh dimakan sebagian dagingnya. maka tidak ada bedanya antara daging kurban nazar dan daging kurban yang sunah. akan tetapi dari sisi bahwa mendahului pelaksanaan nazar adalah wajib. dan tidak wajib demikian selainnya. jika berkata aku jadikan kambing ini sebagai hewan kurban. tidak mendahulukan nazar dan kewajiban. apakah halal memakan sebagian hewan kurban itu? jika kita berkata halal memakan sebagian daging hewan yang dinazarkan, mutlak, dan dilaksanakan sesuai niat nazar, maka karena membolehkan memakan sebagian daging hewan muayanah (ditentukan untuk ibadah) tanpa ada  iltijam (mewajibkan) itu hukumnya Khilaful Awla walaupun kita sepakat melarang memakan daring kurban nazar. Dalam masalah memakan sebagian daging hewan yang ditentukan untuk kurban, ada dua pandangan : Pendapat yang lebih unggul hukumnya boleh karena ucapannya seperti menetukan hewan tertentu, maka niat sembelihnya dengan niat sunah kurban yang menentukan hukum dagingnya pada sisi kurban yang bersyariat. tidak ada bedanya jika demikian. dan jika kita mewajibkan takyin (menentukan niat) setelah nazar maka tidak masalah dalam pelaksanaannya setelah perdebatan panjang yang telah kami sebutkan dalam  urutan subtema. benar-benar kami membolehkan niat tersebut dalam masalah ini.

Dalam Kitab Al Aziz Syarah Wajiz halaman 59 jilid 12 :

قال الغَزَالِيُّ: وَالضَّحِيَّةُ سُنَّةٌ غَيْرُ وَاجِبَةٍ إِلَاّ إِذَا نَذَرَ أَوْ قَال: ‌جَعَلْتُ ‌هَذِهِ ‌الشَّاةَ ‌ضَحِيَّةً* وَمُجَرَّدُ الشِّرَاءِ بِنِيَّةِ الضَّحِيَّةِ لَا يَلْزَمُ

 Artinya : Imam Al Gazali berkata Berkurban itu sunah tidak wajib kecuali bernazar atau berkata aku jadikan kambing ini sebagai hewan kurban. sedangkan membeli hewan dengan niat kurban tidaklah wajib (kurban wajib).

 Bagimana hukumnya memakan daging kurban nazar?
Dua pendapat : pertama tidak boleh bagi pemilik hewan kurban. kedua boleh karena dasar hukum kurban memberbolehkan memakan 1/3 dari daging kurban
Dalam kitab Nihayatul Mathlab Fi Dirayatul Madzhab Halaman 201/ 18 :
«نهاية المطلب في دراية المذهب» (18/ 201):.
11622 - والضحية المنذورة إذا أداها الناذر بالنية، ففي جواز الأكل منها وجهان: أحدهما - المنع؛ من جهة أنها ملتزمة في الذمة، فشابهت دماءَ الجبرانات. والثاني - أن الأكل منها كالأكل من الضحية المنوية، وهذا هو الأفقه؛ فإنه نذرَ الضحية، والضحية يجوز الأكل منها، فلا تتميز المنذورة عن المتطوع بها، إلا من جهة أن الإقدام على الوفاء بالنذر واجب، ولا يجب ذلك دونها.
ولو قال: ‌جعلت ‌هذه ‌الشاةَ ‌ضحيةً، ولم يتقدم نذر والتزام، فهل يحل الأكل منها؟ إن قلنا: يحل الأكل من المنذورة المطلقة المصروفة بالنية إلى النذر، فلأن يجوز أكل من المعينة من غير التزام أولى، وإن منعنا أكل من المنذورة، ففي الأكل من المعينة وجهان: والأصح - جواز الأكل؛ فإن اللفظ كما عين المعينة، فالذبح على نية التطوع بالتضحية يعيّن اللحم لجهة الضحية الشرعية، فلا فرق إذاً، وإذا فرضنا تعييناً بعد نذر، لم يخف التصرف بعد الترديدات التي ذكرناها في ترتيب المنازل، وقد نجز الغرض في هذا النوع.
فرع:
11623 - إذا ضحى المتطوع وأوجبنا التصدق، فأكل الكل، ففي مقدار ما يغرمه لجهة التصدق وجهان ذكرهما صاحب التقريب: أحدهما - أنه يلزمه ما يقع الاسم عليه، والثاني - يلزمه الثلث، أو النصف.
وهذا عندنا زلل؛ فإن هذا القبيل من الخلاف ذكره الأصحاب فيه إذا حرم المزكي واحداً من المساكين، وصرف السهم إلى مسكينين، وذلك لا يناظر ما نحن فيه؛ فإن»

«العزيز شرح الوجيز = الشرح الكبير للرافعي - ط العلمية» (12/ 105):
«قال الغَزَالِيُّ: ‌‌(الحُكْمُ الثالِثُ في الأكْلِ) وَفِي جَوَازِ الأَكْلِ مِنَ المَنْذُورَةِ وَجْهَانِ* وَالمُتَطَوِّعُ بِهَا يَجْوزُ الأَكْلُ مِنْهَا وَإِطْعَامُ الأغْنِيَاءِ* وَلَا يَجُوزُ تَمْلِيكُ الأَغْنِيَاءِ لِلبَيْعِ* وَيَجُوزُ تَمْلِيكُ الفُقَرَاءِ لِلبَيْعِ* وَهَلْ يَجِبُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِقَدْرِ مَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ الاسْمُ؟ فِيهِ وَجْهَانِ* وَإِنْ أَوْجَبْنَا لزم التَّمْلِيكُ فِي ذَلِكَ القَدْرِ* فَإنْ أكَلَ الجَمِيعَ لَمْ يَلْزَمْهُ إلَاّ قِيمَةُ ذلك القدر وقيل يجب قيمة النِّصْفِ* ثُمَّ الأَحْسَنُ التَّصَدُّقُ بِالجَمِيعِ والتَّبَرُّكُ بِأْكْلِ لُقمَةٍ* وَيَتأَدَّى كَمَالُ الشِّعَارِ بِالتَّصَدُّقِ بِالثُّلُثِ* وَبِأَكْلُ الثُّلُثَ* وَيدَّخِرُ الثُّلثُ* وَقِيلَ: بَلْ يَتَصَدَّقُ بالنِّصْفِ.
قال الرَّافِعِيُّ: في الأَكْلِ من الهدْيِ والأَضْحية فضْلَانِ:»

Bagaimana hewan yang sudah ditentukan mati?
tidak wajib ganti kecuali nazar kurban Dalam Kitab Wasit halaman 146/ 7 : 

«الوسيط في المذهب» (7/ 146):
«‌‌الْقسم الثَّانِي من الْكتاب النّظر فِي أَحْكَام الضَّحَايَا
وَهِي ثَلَاثَة
الأول التّلف فَإِذا قَالَ ‌جعلت ‌هَذِه ‌الشَّاة ‌ضحية فَمَاتَتْ فَلَا شَيْء عَلَيْهِ إِلَّا أَن يكون قد عينهَا عَن نذر سَابق وَقُلْنَا إِنَّهَا تتَعَيَّن فَفِي وَجه أَنه كَانَ تَعْيِينه بِشَرْط الْوَفَاء فَإِن مَاتَت فَعَلَيهِ الْإِبْدَال
وَأما إِذا أتلفهَا أَجْنَبِي فَعَلَيهِ قيمتهَا يَشْتَرِي بهَا ضحية فَإِن لم يَفِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ التَّكْمِيل
أما الْمَالِك إِذا أتلف فَفِي وجوب التَّكْمِيل وَجْهَان من حَيْثُ إِنَّه كالملتزم للضحية والشقص لَا يجزىء فَلَا بُد من الْإِتْمَام وَإِن زَادَت الْقيمَة فيشتري بهَا كَرِيمَة وَإِن تعذر فَوَجْهَانِ أَحدهمَا أَنه يَشْتَرِي بِهِ شقص للضَّرُورَة وَكَذَلِكَ إِذا كَانَ مَا غرمه الْأَجْنَبِيّ أقل من ضحية وَالثَّانِي أَنه يصرف مصرف الضَّحَايَا حَتَّى لَو اشْترى مِنْهُ خَاتمًا يقتنيه وَلَا يَبِيعهُ جَازَ»


Bagaimana hukumnya anaknya hewan kurban?
Anaknya mengikuti hukum induknya
Dalam Kitab Nihayatul Mathlab Fi Dirayatul Madzhab halaman 202/ 18 : 

«نهاية المطلب في دراية المذهب» (18/ 202):
«- النوع الثامن - في ولد الأضحية: إذا قال: ‌جعلت ‌هذه ‌الشاة ‌ضحية، فولدت، فولدها بمثابتها، وهو تبعٌ على التحقيق؛ فإن التضحية بالحمل غير جائز على الابتداء، ولكنا قدرنا الولد جزءاً من الأم وسلكنا به مسلكها، ثم ذكر صاحب التقريب فيه كلاماً، فقال: من أئمتنا من جعله كالضحية المنفردة، وفائدة ذلك أنَّا لا نجوّز أكله كله على مذهبٍ كالأم، ومن أصحابنا من قال: هو بمثابة عضوٍ من الأم، فيجوز أكله كله، والتصدق بشيء من الأم، وهذا التردد لطيف حسن.
ولبن الشاة المعيّنة بمثابة لحمها لو ضحيت. ولعلّ الظاهر جواز اسعتيعاب اللبن بالتعاطي إذا جوزنا الأكل من لحمها، وقدّرنا أنها ضحية.»
Siapakah yang bisa dijadikan juru sembelih? 
orang halal sembelihannya yakni beragama islam. utamakan orang yang alim dari Kitab Raudhatuthalibin halaman 200/3 : 
«روضة الطالبين وعمدة المفتين» (3/ 200):
«الشَّرْطُ الثَّالِثُ: أَهْلِيَّةُ الذَّابِحِ.
وَفِيهِ مَسَائِلُ: إِحْدَاهَا: يُسْتَحَبُّ أَنْ يَذْبَحَ ضَحِيَّتَهُ وَهَدْيَهُ بِنَفْسِهِ. وَلَهُ أَنْ يُوَكِّلَ فِي ذَبْحِهَا مَنْ تَحِلُّ ذَبِيحَتُهُ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُوكِّلَ مُسْلِمًا فَقِيهًا، لِعِلْمِهِ بِشُرُوطِهَا. وَلَا يَجُوزُ تَوْكِيلُ الْمَجُوسِيِّ وَالْوَثَنِيِّ، بِخِلَافِ الْكِتَابِيِّ. وَإِذَا وَكَّلَ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَحْضِرَ الذَّبْحَ. وَيُكْرَهُ تَوْكِيلُ الصَّبِيِّ فِي ذَبْحِهَا. وَفِي كَرَاهَةِ تَوْكِيلِ الْحَائِضِ، وَجْهَانِ:
قُلْتُ: الْأَصَحُّ: لَا يُكْرَهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ فِيهِ نَهْيٌ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
وَالْحَائِضُ أَوْلَى مِنَ الصَّبِيِّ، وَالصَّبِيُّ الْمُسْلِمُ أَوْلَى مِنَ الْكِتَابِيِّ.»

Bagaimana jika hewan kurban tidak terdistribusikan ke fakir miskin karena rusak atau lainnya?
Wajib mengganti harga setara dengan daging yang akan dikeluarkan untuk fakir miskin dalam kitab Raudhatuthalibin 216/3 :

«روضة الطالبين وعمدة المفتين» (3/ 216):
«وَيَبْقَى الْأَصْلُ فِي ذِمَّتِهِ. وَفِي هَذَا اللَّفْظِ مَا يُبَيِّنُ أَنَّ قَوْلَنَا فِي صُورَةِ الْإِتْلَافِ: يَأْخُذُ الْقِيمَةَ وَيَشْتَرِي بِهَا مِثْلَ الْأَوَّلِ، يُرِيدُ بِهِ: أَنْ يَشْتَرِيَ بِقَدْرِهَا، فَإِنَّ نَفْسَ الْمَأْخُوذِ مِلْكُهُ، فَلَهُ إِمْسَاكُهُ.
 
النَّوْعُ الثَّانِي مِنْ أَحْكَامِ الْأُضْحِيَّةِ: فِي عَيْبِهَا. وَفِيهِ مَسَائِلُ.
إِحْدَاهَا: لَوْ قَالَ: ‌جَعَلْتُ ‌هَذِهِ ‌الشَّاةَ ‌ضَحِيَّةً، أَوْ نَذَرَ التَّضْحِيَةَ بِشَاةٍ مُعَيَّنَةٍ، فَحَدَثَ بِهَا قَبْلَ وَقْتِ التَّضْحِيَةِ عَيْبٌ يُمْنَعُ ابْتِدَاءُ التَّضْحِيَةِ، لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ بِسَبَبِهِ كَتَلَفِهَا. وَلَا تَنْفَكُّ هِيَ عَنْ حُكْمِ الْأُضْحِيَّةِ، بَلْ تُجْزِئُهُ عَنِ التَّضْحِيَةِ، وَيَذْبَحُهَا فِي وَقْتِهَا. وَفِي وَجْهٍ: لَا تُجْزِئُهُ، بَلْ عَلَيْهِ التَّضْحِيَةُ بِسَلِيمَةٍ، وَهُوَ شَاذٌّ ضَعِيفٌ. فَعَلَى الصَّحِيحِ: لَوْ خَالَفَ فَذَبَحَهَا قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ، تَصَدَّقَ بِاللَّحْمِ، وَيَلْزَمُهُ أَيْضًا التَّصَدُّقُ بِقِيمَتِهَا، وَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يَشْتَرِيَ بِهَا ضَحِيَّةً أُخْرَى، لِأَنَّهَا بَدَلُ حَيَوَانٍ لَا يَجُوزُ التَّضْحِيَةُ بِهِ ابْتِدَاءً. وَلَوْ تَعَيَّبَتْ يَوْمَ النَّحْرِ قَبْلَ التَّمَكُّنِ مِنَ الذَّبْحِ، ذَبَحَهَا وَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا، وَإِنْ تَعَيَّبَتْ بَعْدَ التَّمَكُّنِ، ذَبَحَهَا وَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا، وَعَلَيْهِ ذَبْحُ بَدَلِهَا، وَتَقْصِيرُهُ بِالتَّأْخِيرِ كَالتَّعْيِيبِ.
الثَّانِيَةُ: لَوْ لَزِمَ ذِمَّتَهُ ضَحِيَّةٌ بِنَذْرٍ، أَوْ هَدْيٍ عَنْ قِرَانٍ، أَوْ تَمَتُّعٍ، أَوْ نَذْرٍ، فَعَيَّنَ شَاةً عَمَّا فِي ذِمَّتِهِ، فَحَدَثَ بِهَا عَيْبٌ قَبْلَ وَقْتِ التَّضْحِيَةِ، أَوْ قَبْلَ بُلُوغِ الْمَنْسَكِ، جَرَى الْخِلَافُ السَّابِقُ، فِي أَنَّهَا هَلْ تَتَعَيَّنُ؟ إِنْ قُلْنَا: لَا، فَلَا أَثَرَ لِتَعْيِينِهَا. وَإِنْ قُلْنَا: تَتَعَيَّنُ، وَهُوَ الْأَصَحُّ، فَهَلْ عَلَيْهِ ذَبْحُ سَلِيمَةٍ؟ فِيهِ طَرِيقَانِ. وَقِيلَ: وَجْهَانِ. وَقَطَعَ الْجُمْهُورُ بِالْوُجُوبِ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ فِي ذِمَّتِهِ سَلِيمٌ، فَلَا يَتَأَدَّى بِمَعِيبٍ. وَهَلْ تَنْفَكُّ تِلْكَ الْمُعَيَّنَةُ عَنِ الِاسْتِحْقَاقِ؟ وَجْهَانِ. أَحَدُهُمَا: يَلْزَمُهُ ذَبْحُهَا وَالتَّصَدُّقُ بِلَحْمِهَا؛ لِأَنَّهُ الْتَزَمَهَا بِالتَّعْيِينِ. وَأَصَحُّهُمَا وَهُوَ الْمَنْصُوصُ: لَا تَلْزَمُهُ، بَلْ لَهُ تَمَلُّكُهَا وَبَيْعُهَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَلْتَزِمِ التَّصَدُّقَ بِهَا ابْتِدَاءً، إِنَّمَا عَيَّنَهَا لِأَدَاءِ مَا عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا يَتَأَدَّى بِهَا بِشَرْطِ السَّلَامَةِ. وَيَقْرُبُ الْوَجْهَانِ مِنْ وَجْهَيْنِ فِيمَنْ عَيَّنَ أَفْضَلَ مِمَّا عَلَيْهِ ثُمَّ تَعَيَّبَ، هَلْ يَلْزَمُهُ رِعَايَةُ تِلْكَ الزِّيَادَةِ فِي الْبَدَلِ؟ فَفِي وَجْهٌ: يَلْزَمُ، لِالْتِزَامِهِ تِلْكَ الزِّيَادَةِ بِالتَّعْيِينِ. وَالْأَصَحُّ: لَا يَلْزَمُ، كَمَا لَوِ الْتَزَمَ مَعِيبَةً ابْتِدَاءً، فَهَلَكَتْ بِغَيْرِ تَعَدٍّ مِنْهُ.»

Yayasan Al Istiqomah

Posting Komentar

0 Komentar