Gambar Ilustrasi
Sebagian umat Islam sering membahas atau menyebut kata "bid'ah" untuk kajian ilmu pengetahuan Agama Islam atau untuk menyudutkan kelompok muslim lainnya. Tujuan dan motif penyudutan meraka sulit dimengerti. Kurang layaknya mereka menyudutkan kelompok yang berbeda dengan sebutan ahli bid'ah. Bahkan menyebut kata "sesat" atau "kufur" (keluar dari ajaran Agama Islam).
Perbedaan seharusnya menjadi cakrawala wawasan ilmu pengetahuan Agama Islam berubah menjadi saling tuding. Bahkan saling membunuh seperti di Suriah, Yaman, Irak, Libya, Sudan dan Negara-negara Islam lainnya. Kata "bidah" diperluas tanpa memperkenalkan kategori bid'ah secara ilmiyah.
Syaikh Nawawi Al Bantani dalam kitab Nuru Dzhulam mengatakan :
المبتدع هو من خرج عن الحق وهو المذموم
Artinya : "Ahli bidah adalah orang yang melenceng dari kebenaran. Dan disebut definisi yang buruk."
Sebelum menyudutkan seseorang ahli bidah sebagai orang sesat. Sepatutnya, mengenal pengertian bid'ah dahulu. Sedangkan para ulama me-definisi-kan Bid'ah secara bahasa dari kitab Nuru Dzhulam sebagai berikut :
البدعة لغة ما كان مخترعا على غير مثال سابق
Artinya : "Bid'ah secara bahasa merupakan suatu hal yang berlaku atas perilaku atau yang tidak ada contoh sebelumnya."
Pengertian Bid'ah di atas memberi-artian bahwa bid'ah adalah suatu hal baru. Sedangkan kemajuan peradaban menuntut perubahan dan pembaharuan dari pengetahuan, teknologi hingga sistem negara dalam berbagai keadaan. Serampangan memakai kata bid'ah bisa menyudutkan Agama Islam itu sendiri. Seakan-akan Agama Islam mengharamkan ilmu pengetahuan umum, teknologi, dan sistem negara yang sifatnya pragmatisme (berubah dan berkembang).
Umat Islam seakan-akan dilarang mempelajari atau menggunakan suatu hal baru. Penulis sedikit tersenyum jika ada yang selalu mengkampayekan kata bidah melalui media sosial, blog, vlog, televisi, radio, atau media online. Mereka tidak sadar sedang menggunakan teknologi atau alat yang bisa disebut bid'ah. Tidak ada catatan dalam sejarah Nabi Muhammad SAW berdakwah menggunakan media sosial, blog, vlog, televisi, radio, media online, media cetak atau alat pengeras suara.
Bid'ah secara Istilah Syariat menurut Ulama dari kitabnya Syaikh Nawawi Al Bantani sebagai berikut :
البدعة شرعا ما أحدث على خلاف أمر الشارع
Artinya :"Bid'ah secara syariat adalah hal baru yang (tata caranya) berbeda atau bertentangan pada perintah atau perihal dari pencetus syariat (Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. Pen)."
Pengertian Bid'ah secara Istilah syariat di atas memakai kata Khilaf (خلاف). Kata khilaf dari kamus bahasa arab-indonesia yang artinya; bertentangan; berbeda. Dan memakai kata Amri (أمر) dari kamus bahasa arab-indonesia yang artinya; perintah; perihal; sesuatu hal. Syaikh Nawawi Al Bantani merujuk pada pengertian istilah syariat membagi 5 lima kategori Bid'ah Sebagai berikut :
1. Bid'ah Wajib adalah perkara atau masalah yang didukung oleh kaidah-kaidah hukum wajib dan dalil-dalilnya dari syariat seperti pembukuan Kitab Suci Al Qur'an dan beberapa Syariat ketika khawatir tersia-sia-nya. Sedangkan menyampaikan syariat dan Al Qur'an ke generasi penerus hukumnya wajib secara ijma' (Kesepakatan Ulama Salaf dan khalaf). Dan pembiaran dalam masalah tabligh adalah haram.
Sebagian Ulama Mutaakhirin (Periode setelah masa sahabat dan ulama madzhab) menambahkan bid'ah wajib kifayah, yakni;
a) mengkhususkan diri belajar bahasa Arab agar dapat memahami isi kitab suci dan hadist seperti ilmu nahwu, Sharaf, Ma'ani, Bayan, Lughat selain ilmu ’arud (intonasi Syiir), Qafiah dan sebagainya.
b) kajian memilah-milih Shahihnya hadist dari cacat-nya.
c) membukukan ilmu fiqh
d) membukukan ilmu ushul fiqh
e) membukukan dalil-dalil fiqh
f) membukukan kajian; menolak faham Qodariah, Jabariah, Murjiah, Mujasimah jika dianggap perlu.
Sesungguhnya menjaga syariat hukumnya fardu kifayah dalam masalah-masalah yang bukan fardu 'ain seperti bab muamalah dan sebagainya. Sedangkan melakukan sesuatu hal yang bisa menyempurnakan suatu yang wajib, maka hukumnya wajib juga.
2. Bid'ah Haram, merupakan perbuatan baru yang terkoreksi oleh kaidah-kaidah dan dalil-dalil syariat yang mengarah ke hukum haram seperti al Makbus (المبكوس) artinya : mundur atau terbalik, mendahului orang-orang bodoh mengalahkan orang-orang pintar, menyerahkan pokok-pokok keputusan syariat pada orang yang tidak patut menurut penilaian kalangan ahli dan menjadikan alasan dalam persoalan tadi bahwa jabatan itu milik ayahnya. Sedangkan dia tidak ahli dalam hal tersebut.
3. Bid'ah Sunnah, merupakan perbuatan yang didapati oleh kaidah-kaidah dan dalil-dalil syariat mengarah ke sunnah seperti Sholat Tarawih Berjamaah, mendirikan patung-patung Pemimpin, Hakim, Penguasa; perilaku ini bertentangan perilaku Sahabat tetapi ada maslahat dan Maqoshidus Syariat (Tujuan pokok Syariat) tidak berhasil kecuali dengan menumbuhkan rasa hormat pada pemerintah atau penguasa di hati masyarakat. Sedangkan masyarakat dahulu menghormati para sahabat karena Agama-nya, paling pertama Hijrahnya dan keislamannya kemudian jadi rancu urutan itu hingga tidak ada yang mau menghormati kecuali ada patung penguasa. Sebagian lagi dari Bidah Sunnah adalah renovasi total rabt (penginapan atau pemondokan wakaf), renovasi total madrasah, setiap-setiap kebaikan yang belum ada di zaman Nabi Muhammad saw, membahas tentang persoalan paling rumit dari Ilmu Tashawuf.
4. Bid'ah Makruh, merupakan perbuatan yang didapati oleh kaidah-kaidah dan dalil-dalil syariat mengarah ke makruh seperti mengkhususkan hari-hari yang paling utama dari hari lainnya untuk suatu ibadah. Sebagian Ulama menambahkan menghias Masjid dan Mushaf dari bid'ah makruh.
5. Bid'ah Mubah, merupakan perbuatan yang didapati oleh kaidah-kaidah dan dalil-dalil syariat mengarah ke mubah seperti menjadikan saringan untuk tepung. Di dalam Atsar (Kisah Sahabat), Awal sesuatu hal yang baru ditemukan oleh manusia setelah (wafatnya) Rosululloh saw menemukan saringan (tepung) untuk melembutkan roti dan melezatkannya termasuk perkara mubah. Maka pelantar-pelantara (proses/teknologi) nya termasuk mubah seperti pendapat yang disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Al Liqani. Imam Ibnu Hajar al Haitami termasuk perkara mubah; memperluas yang tempat makanan dan minuman lezat, memperluas ujung lengan gamis. Benar-benar terjadi perdebatan para ulama dalam hal itu (perluas tempat makan, minum dan ujung lengan gamis), Sebagian menyatakan makruh. Dan Sebagian lainnya menyatakan sunnah. Dan begitu juga prihal (Bid'ah Mubah): Mushofahah (berjabat tangan) setelah sholat Ashar dan Shubuh menurut pendapat Syaikh Ibnu Abdus Salam, yakni; jika Mushofahah (berjabat tangan) bersama orang yang sebelumnya. Jikalau orang tersebut bukan orang yang bersamanya sebelumnya, maka hukumnya mandubah (sunah) karena Mushofahah (berjabat tangan) ketika bertemu hukumnya sunah menurut ijma' Ulama.
Pada Bid'ah Mubahah, Syaikh Nawawi Al Bantani menyinggung teknologi atau penemuan alat untuk pembuatan tepung roti agar menghasilkan roti yang lezat dan lembut memasukkan dalam kategori Bid'ah. Sedangkan Para pengikut Ajaran Wahaby mengutip sempalan hadist dari kitab sunan Abu Daud :
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. رواه أبودوود
Artinya : Maka benar-benar setiap yang baru adalah Bid'ah. Dan setiap bid'ah sesat.
Mereka memperluas kata Bid'ah hingga mengharamkan ziarah kubur, berdoa untuk orang yang meninggal dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadist. Padahal, mensholati jenazah muslim bagian dari ritual mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. Sedangkan ziarah kubur adalah bagian ritual untuk menghantarkan para penziarah agar selalu ingat kematian seperti hadist Muthawatir yang menganjurkan akan selalu ingat kematian, berikut ini dari kitab Sunan Kubro Li Nasai :
١٩٦٣ - أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ أَبُو عَمَّارٍ الْمَرْوَزِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، وأَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ»، قَالَ مُحَمَّدٌ فِي حَدِيثِهِ: الْمَوْتُ، قَالَ لَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ: مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ هُوَ وَالِدُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَعُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَالْقَاسِمِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، وَهُمْ ثَلَاثَةُ إِخْوَةٍ وَأَبُو بَكْرٍ ثِقَةٌ، وَعُثْمَانُ لَا بَأْسَ بِهِ وَالْقَاسِمُ لَيْسَ بِثِقَةٍ
Artinya : "Perbanyaklah ingat pada suatu yang menghilangkan kelezatan. Muhammad bin Abdulloh berkata maksud hadistnya adalah kematian."
Mendoakan dan meziarahi kuburan adalah pelantar agar muslim selalu ingat kematian seperti peringatan maulid Nabi Muhammad saw sebagai pelantara agar umat Islam selalu mengenang dan memperkenalkan kisah-kisah Nabi Muhammad saw yang tertulis dalam Kitab Majmu Maulid (Barjanzi Nasar Hingga Diba'i ) yang berbahasa Arab. Ada juga yang bertuliskan bahasa melayu aksara Arab. Memperkenalkan sosok dan kisah Nabi Muhammad saw kepada generasi muda adalah syiar Islam yang wajib dilaksanakan oleh para pendakwah. Mirisnya, Acara maulid diisi oleh ujaran-ujaran kebencian dan politik praktis.
Penulis setuju dengan pendapat wahaby soal maulid haram jika acara maulid dipergunakan untuk ujaran kebencian seperti dalil Al Qur'an yang familiar berikut ini :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ [المائدة: ٢
Artinya : "Saling tolong menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan ketaqwaan. Dan janganlah kalian saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Surah : Al Maidah Ayat : 2."
والله أعلم بالصواب
Bersambung...
0 Komentar